Asal-Usul Manusia Sangihe Talaud

Unknown | 0 comments
Peta genetika yang kini terbuka luas, setidaknya memberikan cukup sinar atas tabir rahasia sebuah pertanyaan besar: Dari manakah nenek moyang kita berasal? Dari manakah kita datang? Meskipun masih menyisakan sejumlah teka-teki, tapi dibanding masa sebelumnya, dunia antropologi saat ini melakukan lompatan besar dalam menyusun peta genetis yang menjelaskan mata rantai persebaran umat manusia di suluruh bumi. Penjelasan-penjelasan yang lebih ilmiah ini mulai menggeser keyakinan klan-klan umat manusia diberbagai tempat akan cerita ke-asal-an manusia yang bersumber dari mite dan legenda.
Seperti klan lain di Indonesia, orang Sangihe Talaud sebagai sebuah indigenous, dalam kurun ribuan tahun hidup dalam mite dan legenda tersendiri, yang pada akhirnya melahirkan system nilai dalam kehidupan mereka. Tapi apakah dengan demikian membedakan ke-asal-an etnik ini dengan suku bangsa lain di jazirah Nusantara? Kajian antropologi kebudayaan pada masa sebelumnya menjelaskan orang Sangihe Talaud merupakan rumpun manusia berbahasa Milanesia yang berasal dari migrasi Asia pada 40.000 tahun SM. Kemudian disusul pada masa yang lebih muda sekitar 3.000 tahun SM dari Formosa yang berbahasa Austronesia. Penemuan terbaru yang lebih mengejutkan yang berhasil mematahkan terori linguistic di atas, adalah adanya kemungkinan nenek moyang suluruh klan di Indonesia berasal dari Nias-Mentawai, dengan ciri gen dari masa yang lebih tua sebelum migrasi Formosa.
Agak berbeda dengan sejumlah anasir antropologi kebudayaan, hasil peneletian gen manusia saat ini memberikan cerita tentang pengembaraan panjang leluhur manusia di seluruh dunia yang disebut berasal dari Afrika sejak 50.000 tahun silam yang berekspansi ke Eurasia. Perhitungan para paleoantropolog dan pakar genetika menyebutkan homo sapiens ini berasal dari 200.000 tahun silam dan berhasil mengembangkan keturunan sebanyak enam setengah miliar jiwa. Hal ini dibuktikan dengan pemetaan gen yang menunjukkan 99,9 persen kesamaan kode-kode genetika atau genom manusia di seluruh dunia. Sisanya 1 persen hanya menegaskan perbedaan individual seperti warna mata atau resiko penyakit. Perjalanan panjang itu pun telah membawa sejumlah perubahan lain seperti mutasi neurologist yang menciptakan perbedaan bahasa lisan dan juga sebuah perubahan wajah dan ras baru.
Lalu, benarkah setiap manusia yang pernah hidup di bumi berasal dari seorang ibu Hawa Mitokondrial dan ayah Adam Kromosom Y yang hidup pada 150.000 tahun silam di Afrika? Pertanyaan ini masih membuahkan kegelisahan para ahli untuk mengungkap jawaban yang memuaskan. Yang pasti sejumlah artefak masa lalu, menunjukkan adanya migrasi umat manusia dari suatu tempat ketempat yang lain. Dan setiap klan atau etnik telah hidup dalam milenia pada sebuah tempat hingga mengalami sujumlah mutasi budaya dan tunduk pada masing-masing dewa serta melahirkan mite-mite baru dalam kehidupan kelompok masing-masing.
Bila masuk lebih dalam menelisik aneka budaya lisan di masyarakat Sangihe Talaud, kita dipertemu dengan cerita jejak nenek moyang lebih unik dan menarik seperti pengakuan adanya para pendatang (homo sapiens) yang dalam bahasa setempat disebut sebagai Ampuang (manusia biasa). Selain para pendatang ini juga ada dua jenis manusia lain yang telah ada di sana dari masa sebelumnya yaitu Ansuang (raksasa) dan Apapuhang (manusia kerdil). Untuk dua jenis manusia terakhir itu, hingga kini belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Rujukkan terhadap keberadaan mereka masih terbatas pada kepercayaan adanya beberapa artefak seperti bekas kaki dalam ukuran besar yang terpahat di bebatuan yang bisa saja tercipta akibat fenomena alam. Apakah mereka merupakan penyimpangan genetika pada masa itu kemudian diabadikan dalam sejumlah mite dan legenda? Ini masih sebuah pertanyaan.
Sejumlah legenda pun ikut memperkaya kesimpangsiuran jejak asal muasal manusia Sangihe Talaud. Dari kepercayaan turun-temurun. Pulau-pulau Sangihe Talaud konon tercipta dari air mata seorang bidadari. Dari bidadari inilah manusia Sangihe dilahirkan. Ini sebabnya nama Sangihe itu berasal dari kata Sangi (tagis}. Di pulau-pulaud Talaud, penyebutan Porodisa untuk kawasan itu justru dikaitkan dengan anggapan dimana manusia Talaud adalah keturunan Wando Ruata, yaitu seorang manusia gaib yang berasal dari Surga. Padahal kata Porodisa menurut teori linguistic justru merupakan mutasi neurologist bahasa lisan dari bahasa Spanyol: Paradiso (surga). Kata Sangi di Sangihe sendiri merupakan mutasi dari kata Melayu: tangis. Mite lainnya bercerita tentang manusia yang berasal dari telur buaya. Ada juga yang beranggapan terjadi dari evolusi pelepah pisang secara mistis menjadi manusia.
Kepercayaan terhadap dewa dewi dan system nilai budaya orang Sangihe Talaud ini menujukan adanya persinggung dengan system nilai di tempat lain seperti teori keseimbangan alam, memiliki kesamaan dengan teori Fun She dan Esho Funi dalam pemahaman Hindu kuno. Kepercayaan “Manna” atau kepercayaan terhadap adanya kekuatan mekanis dalam alam yang mempengaruhi peri kehidupan manusia, bukan tidak mungkin merupakan interpretasi lain akibat mutasi dari pemahaman kaum semitik akan Tuhan. Demikian pula dengan budaya ritual persembahan kurban yang mengunakan symbol darah Manusia yang di pukul sampai mati.
Manusia Sangihe Talaud sejak masa purba, juga mengakui adanya zat suci pencipta alam semesta dan manusia yang di sebut “Doeata,Ruata”, juga dinamakan ”Ghenggona”. Di bawahnya, bertahta banyak roh Ompung (Roh penguasa laut), dan Empung (roh penguasa daratan). Dewa-dewi ini berhadirat di gunung dan lembah-lembah, di laut, di sehamparan karang. Di cerocok dan tanjung. Di pohon, dan dalam angin. Di cahya, bahkan bisikan bayu. Di segala tempat, ruang, dan suasana.
Kendati begitu, eksplorasi yang lebih ilmiah terhadap asal usul manusia Sangihe Talaud, yang telah ada saat ini baru sebatas dari masa abad ke 14. Bermula pada periode Migrasi Kerajaan Bowontehu 1399-1500. Disusul periode Kerajaan Manado 1500-1678. Dan terakhir periode kerajaan-kerajaan Sangihe Talaud dari 1425-1951.
Gumansalangi (Upung Dellu) sebagai Kulano tertua kerajaan Tabukan atau Tampunglawo, yang bermukim di gunung Sahendarumang bersama Ondoasa (Sangiang Killa), istrinya, adalah anak dari Humansandulage bersama istrinya Tendensehiwu, yang mendarat di Bowontehu pada awal mula migrasi Bowontehu, Desember 1399. Mereka melakukan pelayaran dari Molibagu melalui Pulau Ruang, Tagulandang, Biaro, Siau terus ke Mangindano (Mindanau-Filipina), kemudian balik ke pulau Sangir – Kauhis dan mendaki gunung Sahendarumang, dimana mereka dan para pengikut mendirikan kerajaan Tampunglawo sebagai kerajaan tertua di Tabukan, yang pada periode kemudian melebar hingga ke seluruh kawasan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Sementara Bulango bermigrasi dari Bowontehu pada 1570 menuju Tagulandang dimana anaknya bernama ratu Lohoraung mendirikan kerajaan Tagulandang di pulau itu bersama para pengikutnya.
Bulango adalah saudara dari Lokongbanua, raja pertama kerajaan Siau. Keduanya adalah anak dari raja Mokodoludut dengan istrinya Abunia dari kerajaan Bowontehu. Sedangkan Raja Bolaang Mangondow pertama, Yayubongkai, adalah juga putra Mokoduludut. Ini sebabnya ada kesamaan budaya dan marga antara orang Bolaang Mangondow dan orang Sangihe Talaud. Perubahan budaya di kedua etnik ini lebih dipengaruhi oleh alkulturasi pasca masuknya agama-agama semitik, (Kristen-Islam) di kedua kawasan etnik itu.
Untuk wilayah Kauhis-Manganitu, semuanya berasal dari keturunan Gumansalangi hingga keturunannya bernama Tolosang pada 1600 mendirikan kerajaan Kauhis- Manganitu. Demikian pula di Tahuna pada 1580 Tatehe Woba mendirikan kerajaan di sana, juga di Kendahe yang didirikan oleh Mehegelangi. Raja Kendahe ini anak dari Syarif Mansur dan istrinya Taupanglawo.
Sebelum periode migrasi Bowontehu (Manado Tua) pada 1399, kawasan itu telah dihuni manusia selama enam generasi. Tapi hal terpenting dalam hubungan kekeluargaan oranga Sangihe Talaud dan Bolang Mangondow, dipercaya karena berasal dari Migrasi Bowontehu.
Oleh : Iverdixon Tinungki
www.senibudayakita.com

Sejarah Cap Tikus di Indonesia

Unknown | 0 comments
Sejarah Minuman Olahan Khas Minahasa “CAP TIKUS” – Siapapun yang datang mengunjungi daerah Minahasa, tentunya akan mengetahui jenis minuman tradisional Minahasa beralkohol tinggi yang lebih dikenal dengan “Cap Tikus”. Minuman yang diproduksi tanpa ada campuran kimia ini memang dihasilkan oleh para petani yang daerahnya banyak dipenuhi pohon “Seho”. Minuman “cap tikus” ini dibuat sendiri oleh orang Minahasa dan orang Sangir dengan cara tradisional. Sebelum dibuat “Cap Tikus”, para petani harus “Batifar” dulu untuk menghasilkan minuman “Saguer” yang diambil dari pohon seho atau aren – dalam bahasa Minahasa disebut “Akel” .Saguer dibuat dengan cara tangkai bunga pohon aren yang sebesar pergelangan tangan orang dewasa, dibersihkan dan dipukul-pukul selama beberapa hari lalu dipotong. Dari potongan ini akan keluar getah warna putih susu yang menetes dengan cepat hingga perlu tempat penampungan yang ukuran seruas bambu. Cairan warna putih susu inilah yang dinamakan Saguer.
Dalam pembuatan cap tikus, air saguer tadi dialirkan melalui pipa-pipa bambu yang sudah diatur sedemikian rupa. Uap panas yang melalui pipa bambu yang panjang ketika mencair akan berubah menjadi Cap Tikus. Para pembuat Cap Tikus lebih suka memilih lokasi pegunungan yang dingin dan tempat berbukit supaya pipa bambu penyulingan tidak diatas pohon tapi dipermukaan tanah perbukitan.
Legenda Minahasa mengenal dewa Makawiley sebagai dewa saguer pertama (Leway = busa saguer). Kemudian ada juga dewa saguer yang bernama Kiri Waerong yang dihubungkan dengan pembuatan gula merah dari saguer yang dimasak. Dewa saguer yang ketiga adalah dewa Parengkuan yang dihubungkan dengan air saguer yang menghasilkan Cap Tikus . Parengkuan mempunyai kata asal “rengku” artinya, minum sekali teguk ditempat minum yang kecil. Dari arti kata tersebut maka orang Minahasa menyakini bahwa Parengkuan adalah orang Minahasa pertama yang membuat minuman Cap Tikus.
Minuman keras tradisionil Minahasa ini pada mulanya bernama sopi. Namun, nama “Sopi” berubah menjadi Cap Tikus ketika orang Minahasa yang mengikuti pendidikan militer untuk menghadapi perang Jawa, sebelum tahun 1829, menemukan mimuman “Sopi” dalam botol-botol biru dengan gambar ekor tikus. Minuman “Sopi” itu dijual oleh para pedagang Cina di Benteng Amsterdam Manado.
Dalam upcara naik rumah baru, para penari Maengket menyanyi lagu Marambak untuk menghormati dewa pembuat rumah, leluhur Tingkulendeng . Tuan rumah harus menyodorkan minuman Cap Tikus kepada Tonaas pemimpin upacara adat naik rumah baru sambil penari menyanyi ” tuasan e sopi e maka wale ” artinya, tuangkan minumam Cap Tikus (sopi) wahai tuan rumah.
Keterangan mengenai minuman Cap Tikus di Ternate ditulis oleh juru tulis pengeliling dunia Colombus dari Spanyol bernama Antonio Pigafetta. Setelah kapal mereka melalui dua buah pulau Sangir dan Talaud lalu tanggal 15 Desember tahun 1521 mereka tiba di pelabuhan Ternate – dijamu Raja Ternate dengan minuman arak yang terbuat dari air tuak yang dimasak.
Sayang sekali buku “Perjalanan keliling dunia Antonio Pigafetta” terbitan tahun 1972 halaman 127 – 128 tidak menjelaskan dari mana Raja Ternate mendapatkan minuman Cap Tikus. Kalau kita lihat masyarakat Ternate tidak punya budaya “Batifar” hingga kemungkinan besar minuman Cap Tikus sama halnya dengan beras yang didatangkan ke Ternate dari Minahasa. Budaya produksi dan menjual minuman Cap Tikus masih berlanjut di Minahasa hingga sekarang ini dengan penjualan sampai ke Irian.
Data ini menunjukkan bahwa bukan orang Spanyol yang mengajarkan cara membuat minuman Cap Tikus di Minahasa. Karena, waktu pertama kali orang Spanyol datang di Ternate, minuman itu sudah ada. Bagi orang Spanyol, minuman Cap Tikus telah menjadi bumerang karena melalui minuman itulah orang Spanyol di usir dari Minahasa. Hal itu terjadi karena serdadunya suka mabuk-mabukan dan akhirnya membunuh Dotu Mononimbar di Tondano dan melukai anak Kepala Walak Tomohon tahun 1644.
Masa hidup dewa minuman keras Minahasa Opo Parengkuan adalah sebelum periode kedatangan bangsa kulit putih Portugis – Spanyol di Minahasa tahun 1512 – 1523. Pada waktu itu pedagang Cina dengan perahu yang telah datang membawa keramik ke Minahasa. Dari usia dinasti keramik Cina di Minahasa abad 13 dan abad 14, dapat diperkirakan bahwa orang Cina-lah yang mengajarkan orang Minahasa untuk membuat minuman keras Cap Tikus dengan menyuling Saguer.
Tapi menurut buku ” Adatrechtbundels XVII. 1919 halaman 79 ” , minuman keras tradisionil ini telah menyelamatkan orang Minahasa dari ketergantungan Candu dan Opium di abad 18. Karena orang Minahasa sangat mencintai minuman Saguer dan Cap Tikus, maka orang Minahasa sudah tidak tertarik lagi dengan candu dan opium, walaupun harganya cukup murah.
Cerita Sejarah Minuman Olahan Khas Minahasa “CAP TIKUS” ini dapat dijadikan contoh bagi generasi muda sekarang agar menjauhi narkotik yang memang sudah dilarang Opok -Opok dan Dotu -Dotu Minahasa tempo dulu.
Oleh : Jessy Wenas

Kata-Kata Mutiara Patah Hati

Unknown | 0 comments
Kata-Kata Mutiara Patah Hati-  Kata kata romantis buat untuk kekasih tersayang yang sudah saya posting kemarin belum lengkap rasanya kalo kata kata buat untuk kekasih tersayang dan kata kata jatuh cinta pada pandangan pertama dijawab dengan kata cinta bertepuk sebelah tangan. Artikel ini bisa kawan gunakan sebagai kata kata buat status fb, kata singkat sms sedih, kata kata maaf buat mantan, kata cinta buat pacar tersayang, kata status fb singkat buat mantan, kata mutiara untuk pacar tercinta, kata kata memuji cewek cantik dan rangkaian kata kata buat kekasih.

Tulisan berikut ini saya kumpulkan dari kata kata untuk mantan yang menyakitkan, kata bijak cinta bertepuk sebelah tangan, kata kata indah bertepuk sebelah tangan, kata kata galau, puisi cinta bertepuk sebelah tangan, kata mutiara emosi dan kata mutiara cinta tak terbalas. Oke, mari kita lanjutkan.
Hidup ini terlalu indah untuk di tangisi. Apa lagi menangis hanya karna cintaku bertepuk sebelah tangan.
Setetes saja kebencian ada di dalam hati, Pasti akan membuahkan penderitaan. Tapi setetes cinta ada di dalam relung hati, akan membuahkan kebahagiaa yang sejati.
Cinta itu tidak berupa tatapan antara satu sama lain, tetapi memandang ke luar bersama ke arah yang sama pula.
Cinta adalah sebuah kunci induk yang bisa membuka semua gerbang kebahagiaan, dan Kekasih yang bijaksana itu tidak menghargai hadiah dari kekasihnya Sebesar cinta dari si pemberi.
Sering sebuah persahabatan berakhir dengan cinta, tetapi cinta terkadang berakhir bukan dengan persahabatan.
Siapa saja yang memiliki hati penuh cinta, ia selalu mempunyai sesuatu untuk diberikan, karena cinta sejati dimulai ketika memberi tanpa mengharap balasan.
Sayang, kamu bukanlah yang terbaik untuku, begitu pula denganku, aku bukan yang terbaik untukmu. Lupakanlah aku.
Kalo kita mencintai seseorang, berusahalah untuk tampil apa adanya. Karena Cinta sejati selalu dapat menerima semua kelebihan juga kekurangan.
Perasaan cinta yang sangat besar kadang bisa membuat kita tidak bisa mencintai lagi.
Luruhnya hati seseorang bukanlah suatu dosa, maka jangan pernah takut untuk jatuh cinta.
Kalo aku mencintai seseorang, aku akan sentiasa mendoakannya walaupun dia tidak berada disisi ku.
Terlalu menyakitkan bila mencintai seseorang yang tidak mencintai, tetapi yang lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cinta kepadanya.