BATAS MAKSIMUM RESIDU ( BMR ) PESTISIDA (Mentri Pertanian Dan Mentri kesehatan)
Persyaratan
BMR Pestisida dalam Perdagangan Dunia
Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) telah menerima persetujuan SPS (Sanitary and
Phytosanitary) sebagai salah satu bentuk hambatan non tarip yang dapat
diterapkan oleh suatu negara. Tanpa antisipasi yang tepat kesepakatan tersebut
dapat menghalangi kelancaran hasil pertanian Indonesia memasuki pasar global.
Salah satu ketentuan SPS yang diterima berkaitan dengan kandungan residu
pestisida pada produk pertanian. Agar hasil pertanian dapat memasuki suatu
negara harus mengandung residu pestisida di bawah nilai BMR (Batas Maskimum
Residu) Pestisida yang ditetapkan oleh suatu negara dengan mengacu ketentuan
keamanan pangan/Codex Alimentarius (WHO).
Dengan adanya
ketetapan tentang BMR Pestisida, suatu negara dapat melindungi kesehatan
masyarakat dari produk pertanian yang membahayakan. Pengenaan BMR Pestisida
tidak hanya berlaku untuk produk-prduk pertanian yang berasal dari luar negeri
tetapi juga produk domestik. Dilihat dari sisi perdagangan global pemenuhan
persyaratan BMR dapat melancarkan keberhasilan produk pertanian suatu negara
memasuki pasar domestik negara-negara lain. Sebaliknya dengan ketetapan BMR,
suatu negara dapat menghambat masuknya produk pertanian dari luar negeri terutama
produk yang membahayakan kesehatan masyarakat. Tanpa ada ketetapan BMR dan
kriteria SPS lain yang efektif, pasar domestik secara bebas dapat dibanjiri
oleh produk-produk pertanian luar negeri yang mungkin berkualitas rendah.
Ketentuan
BMR Pestisida di Indonesia
Indonesia
telah memiliki ketetapan tentang BMR Pestisida melalui SKB Menteri Kesehatan
dan Menteri Pertanian Nomor: 881/Menkes/SKB /VIII /1996 dan
711/Kpts/TP.270/8/96 tentang Batas Maksimum Rediu Pestisida Pada Hasil
Pertanian. Pasal 2 SKB tersebut menyatakan bahwa setiap hasil pertanian yang
beredar di Indonesia baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar
negeri tidak boleh mengandung residu pestisida melebihi batas yang ditetapkan.
SKB Pasal 3 menetapkan bahwa hasil pertanian yang dimasukkan dari luar negeri
yang mengandung residu pestisida melebihi BMR harus ditolak.
Sampai saat
ini SKB tersebut belum efektif dan dapat dilaksanakan di lapangan. Beberapa
kesulitan yang dihadapi dalam penerapan SKB tersebut adalah :
1.
Mekanisme
koordinasi antar sektor, antar petugas pemerintah yang akan melaksanakan
ketetapan tersebut belum ditetapkan. Pertemuan lintas sektor pernah
dilaksanakan namun dengan adanya krisis multidimensi pertemuan tersebut
terhenti. Pertemuan koordinasi tersebut perlu dimulai lagi dengan sasaran dan
jadwal yang jelas. Dengan otonomi daerah saat ini koordinasi tersebut akan
menjadi semakin sulit dan semakin rumit.
2.
Jaringan
Kerja Nasional Laboratorium Penguji Residu Pestisida terutama yang berada dekat
dengan kota-kota pelabuhan belum terbentuk. Hal ini antara lain disebabkan
karena sebagian besar laboratorium pengujian yang dimiliki oleh Dept Kesehatan
dan Departemen Pertanian belum terakreditasi baik di tingkat nasional maupun
internasional. Tanpa sistem jaringan laboratorium yang handal dan terpercaya
sangat sulit bagi Indonesia untuk menerapkan ketentuan SPS-WTO untuk
perlindungan pasar domestik.
Peranan
Komisi Pestisida
Komisi
Pestisida sewaktu masih berada di Ditjen Bina Tanaman Pangan telah menjadi
inisiator dan konseptor sehingga dikeluarkannya SKB Menkes dan Mentan mengenai
BMR Pestisida pada tahun 1996. Hal ini disebabkan karena hampir di semua negara
urusan residu pestisida dikelola oleh otoritas nasional yang bertanggungjawab
terhadap registrasi dan regulasi pestisida. Adanya desakan dari pimpinan
nasional pada waktu itu untuk menghambat banjirnya buah-buahan dari luar
negeri, mendorong kita segera menetapkan BMR Pestisida yang berlaku untuk
seluruh wilayah tanah air. Pimpinan Departemen Pertanian menugaskan Komisi
Pestisida untuk mempersiapkan penyusunan ketetapan tersebut.
Karena data
penelitian dalam negeri tentang BMR Pestisida pada produk pertanian belum
tersedia, Komisi mengambil kebijakan mengadopsi pedoman Codex Alimentarius dan
beberapa ketentuan dari negara-negara lain. Menyadari masih lemahnya kemampuan
SDM dan laboratorium dalam melakukan analisis residu pestisida, Komisi
Pestisida membentuk Tim Pakar yang ditugasi menyusun Metode Baku Pemeriksaan
Laboratorium Residu Pestisida. Tim pakar juga ditugasi untuk melakukan
penilaian mengenai kesiapan laboratorium penguji residu pestisida di seluruh
Indonesia, dalam melaksanakan SKB tersebut.
Dari hasil
uji yang dilakukan terhadap 55 laboratorium analisis kimia ternyata sangat
sedikit laboratorium yang mampu melakukan pengujian residu pestisida dengan
benar dan tepat. Karena itu diperlukan program khusus guna meningkatkan
kemampuan laboratorium dan SDM dalam melakukan pengujian residu pestisida yang
teliti. Sejak tahun 1997 kegiatan Tim Pakar terhenti karena terjadinya krisis
nasional.
Meskipun
demikian dengan sarana kerja terbatas sebagian tim pakar Residu Pestsida
membantu Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan meningkatkan kualitas alat dan
kemampuan SDM, dengan sasaran agar laboratium analisis pestisida memperoleh
pengakuan dan akreditasi pada tingkat nasional dan internasional. Laboratorium
pestisida milik Dit. Perlintan Pangan tersebut direncanakan menjadi
laboratorium rujukan nasional pengujian residu pestisida.
Mengingat
waktu dilaksanakannya pasar bebas ASEAN dan pasar bebas dunia sudah mendekat,
kita perlu segera memulai dan melaksanakan kegiatan penerapan ketetapan
mengenai BMR Pestisida dalam kegiatan perdagangan domestik dan global. Beberapa
kegiatan atau program kerja yang perlu kita laksanakan secara lintas sektoral
dan lintas disiplin ilmu adalah ;
1.
Melakukan Revisi dan Perbaikan BMRP
Ketetapan
BMRP yang terlampir dalam SKB Menkes dan Mentan Tahun 1997 perlu direvisi
sesuai dengan perkembangan terakhir yang terjadi di sidang-sidang CCPR (Codex
Committee on Pesticides Residue). Di samping itu banyak negara termasuk
negara-negara Asean telah menetapkan BMRP baru yang berada di bawah nilai BMR
yang kita tetapkan melalui SKB Menkes dan Mentan.
Kita perlu
bekerjasama dengan negara-negara ASEAN untuk terwujudnya harmonisasi nilai BMRP
yang berlaku di ASEAN agar tidak terjadi ketimpangan lalulintas perdagangan
hasil pertanian. Sasaran ekspor hasil pertanian kita adalah negara-negara
tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Beberapa BMRP untuk
komoditi yang khas Indonesia perlu kita kembangkan sendiri melalui kegiatan
penelitian yang sesuai dengan prosedur baku internasional.
2.
Menyusun Mekanisme Pemeriksaan dan Pengambilan Keputusan
Setiap produk
pertanian yang diimpor dan ekspor harus disertai sertifikat yang menyatakan
kandungan residu pestisida yang sudah memenuhi persyaratan BMR. Kalau belum
disertai sertifikat, di pintu masuk harus diadakan pengambilan sampel untuk
diperiksa konsentrasi residu pestisida di laboratorium pestisida yang telah
terakreditasi. Bila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa kadar
residu pestisida tertentu lebih rendah daripada BMRP produk impor tersebut
dapat diterima. Namun bila hasil pemeriksaan melebihi nilai BMRP produk
tersebut ditolak memasuki kawasan Indonesia. Proses pengambilan keputusan
tersebut harus dapat dilakukan secepatnya agar tidak terjadi hambatan proses
perdagangan.
Mengingat
mekanisme tersebut akan sangat melibatkan banyak Departemen dan lembaga
pemerintah yang lain, perlu dilakukan pertemuan koordinasi lintas Departemen /
LPND di tingkat pusat dan di tingkat daerah, untuk menyusun dan menetapkan
mekanisme pemeriksaan residu pestisida dan pengambilan keputusan perijinan
perdagangan. Diharapkan melalui pertemuan koordinasi ditemukan mekanisme
pengaturan yang efektif dan efisien serta mengurangi sejauh mungkin
hambatan-hambatan birokrasi.
3.
Penyiapan Infra Struktur Jaringan Laboratorium Pemeriksa
Berfungsinya
sistem dan mekanisme penerapan BMRP sangat ditentukan oleh berfungsinya
jaringan laboratorium pemeriksa atau penguji residu pestisida yang handal,
profesional, dan tersebar di seluruh tanah air. Jaringan ini perlu memanfaatkan
banyak laboratorium kimia yang dimiliki oleh beberapa Departemen dan Pemda
seperti Depkes, Deptan, Deperindag, serta Perguruan Tinggi.
Salah satu
program yang penting adalah standardisasi Metode Analisis Residu Pestisida yang
mengacu pada standar internasional. Kemudian langkah berikutnya adalah
melengkapi peralatan laboratorium penguji dan penyediaan bahan kimia standard
termasuk solvents, serta meningkatkan kemampuan SDM dalam melakukan analisis
residu pestisida sesuai dengan metode baku yang ditetapkan. Pemerintah perlu
menetapkan mekanisme pemberian sertifikat residu pestisida serta menunjuk
laboratorium-laboratorium yang dapat memberikan sertifikat residu tersebut.
4.
Meningkatkan Kualitas Pemeriksa dan Peneliti Residu Pestisida
Pelaksanaan
ketetapan BMR tersebut sangat ditentukan oleh profesionalisme para petugas
pemeriksa yang ada di pintu masuk (pelabuhan, bandara), di lapangan (di lahan
pertanian), serta yang bekerja di laboratorium pemeriksa. Karena kegiatan ini
menyangkut analisis bahan kimia kelumit dengan kadar yang sangat rendah (ukuran
part per billion, part per trillion) diperlukan tenaga-tenaga khusus yang
profesional dalam bidangnya serta sangat berpengalaman. Untuk peningkatan
profesionalisme petugas harus selalu dilakukan banyak program pelatihan dan
peningkatan mutu.
Disamping
tenaga-tenaga pelaksana harus terus ditingkatkan dan dipertahankan mutunya,
demikian juga tenaga-tenaga peneliti yang bekerja di lembaga penelitian dan
universitas. Mereka yang akan menopang para pelaksana dengan informasi tentang
metode-metode analisis residu yang paling baru yang lebih efisien, demikian juga
nilai-nilai BMR Pestisida yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat dan
ekosistem Indonesia.
5.
Pemasyarakatan BMR
Konsep BMR
Pestisida sebagai penentu keberhasilan produk pertanian Indonesia menembus
pasar global perlu disadari, dimengerti, dan diikuti oleh semua stakeholders
yang terkait dengan proses produksi dan pemasaran hasil-hasil pertanian
terutama pemerintah, petani, dan dunia industri. Persyaratan BMR sudah
merupakan kenyataan yang harus diterima oleh semua pihak tidak dapat dihalangi
dan ditolak apalagi diabaikan karena akan mempengaruhi kinerja dunia agribisnis
pada waktu mendatang. Komunikasi dan konsultasi timbal balik antara para pelaku
agrisbisnis untuk dapat memenuhi persyaratan BMR perlu dibentuk dan
dikembangkan sehingga hasil-hasil pertanian Indonesia mampu memenuhi
persyaratan BMR.
Petani
sebagai produsen terbesar hasil-hasil pertanian yang sebagian diolah dan
dipasarkan oleh dunia industri harus ditingkatkan kemampuan profesionalismenya
agar dalam mengelola lahan pertaniannya dapat dihasilkan produk pertanian yang
tidak mengandung residu pestisida melebihi ketentuan BMR. Agar petani dan
pengusaha pertanian dapat memenuhi persyaratan tersebut mereka harus menerapkan
teknologi produksi yang hemat atau tanpa menggunakan pestisida kimia. Penerapan
dan pengembangan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu) sesuai dengan UU No. 12
Tahun 1992 merupakan alternatif terbaik yang perlu ditempuh oleh petani dan
pelaku agribisnis lainnya agar tidak terkena hambatan non tarif BMR dalam era
perdagangan bebas.
Standar
Nasional Indonesia Batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian disusun
dan dirumuskan oleh Panitia Teknis 65-03 Pertanian. Standar ini telah dibahas
dalam rapatrapat teknis dan terakhir dirumuskan dalam rapat konsensus di
Jakarta pada tanggal 4 Desember 2006 yang dihadiri oleh anggota Panitia Teknis
dan pihak terkait lainnya.
Perumusan
Standar Nasional Indonesia (SNI) ini disusun untuk keamanan pangan, harmonisasi
standar dan kelancaran perdagangan baik nasional maupun internasional. Standar
ini telah melalui proses jajak pendapat pada tanggal 21 Juni 2007 sampai dengan
21 September 2007 dan langsung disetujui menjadi RASNI.
Batas
maksimum residu pestisida pada hasil pertanian
Standar ini
menetapkan batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian yang
diperbolehkan beredar, cara pengambilan sampel, dan cara uji. Pedoman Pengujian
Residu Pestisida Dalam Hasil Pertanian, Direktorat Perlindungan Tanaman,
Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, 2004.
Pestisida
zat, senyawa kimia (zat pengatur tumbuh dan perangsang tumbuh), organisme
renik, virus dan lain-lain yang digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman
atau bagian tanaman. Residu pestisida zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian
baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida,
mencakup senyawa turunan pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit,
senyawa hasil reaksi, dan zat pengotor yang dapat memberikan pengaruh
toksikologik. Batas maksimum residu (BMR) pestisida tingkat bahaya residu
pestisida pada suatu bahan digambarkan BMR yaitu konsentrasi maksimum residu
pestisida yang secara hukum diizinkan atau diketahui sebagai konsentrasi yang
dapat diterima pada hasil pertanian yang dinyatakan dalam miligram residu
pestisida per kilogram hasil pertanian.
Batas
maksimum jenis-jenis residu pestisida yang diperbolehkan terkandung dalam
produk-produk hasil pertanian sesuai.
DAFTAR Batas maksimum residu
pestisida pada hasil pertanian